Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Kejayaan dan Kebangkitan Peradaban Maritim di Nusantara

Selamat datang di LumbungguruKerajaan Sriwijaya, sebuah peradaban maritim megah yang membanggakan, meninggalkan jejak sejarahnya yang tak terhapuskan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelusuri sejarah kejayaan, pendiri, letak geografis, serta perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan politik Kerajaan Sriwijaya. Selamat menelusuri kejayaan sebuah kerajaan yang membentuk peradaban maritim Nusantara!






Sejarah Kerajaan Sriwijaya

 Dimulai pada awal tahun Masehi, ketika hubungan perdagangan antara India dan kepulauan Indonesia sudah sangat aktif. Pesisir timur Sumatera merupakan jalur perdagangan yang sering dikunjungi para pedagang. Dari situlah lahir pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi kerajaan-kerajaan. Pada abad ke-7, beberapa kerajaan kecil seperti Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya mulai bermunculan di pesisir timur Sumatera. Dari ketiga kerajaan tersebut, hanya Sriwijaya yang mampu berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Pemerintah kerajaan Melayu juga sempat berkembang dengan pusat pemerintahannya di Jambi.
Pada tahun 692 Masehi, Kerajaan Sriwijaya melakukan ekspansi ke daerah sekitar Melayu dan berhasil menaklukkan Melayu, menjadikannya bagian dari wilayah kekuasaan Sriwijaya. Pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya awalnya berlokasi di Palembang, dekat pantai dan tepi Sungai Musi, namun kemudian pindah ke Jambi.

Sumber sejarah yang penting untuk mempelajari Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti termasuk: 

1. Prasasti Kedukan Bukit: Ditemukan di Sungai Tatang yang terletak di dekat Palembang. Prasasti tersebut ditemukan pada tahun 605 Saka, atau 683 Masehi. Isinya mencatat perjalanan suci (siddhayatra) Dapunta Hyang yang dilakukan dengan menggunakan perahu. Ia memulai perjalanan tersebut dari Minangatamwan dengan didampingi oleh 20.000 prajurit.

2. Prasasti Talang Tuo: Ditemukan di wilayah Talang Tuo di sebelah barat kota Palembang pada tahun 606 Saka (684 Masehi). Isi prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman Sriksetra yang dibangun oleh Dapunta Hyang Jayanaga.

3. Prasasti Telaga Batu: Prasasti ini ditemukan di Palembang, Indonesia. Prasasti ini tidak menunjukkan tahun penciptaannya. Terutama, isinya itu berkaitan dengan kutukan yang mengerikan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran.

4. Prasasti Kota Kapur: Ditemukan pada tahun 608 Saka (656 Masehi) di Pulau Bangka. Sebagian besar isinya adalah doa kepada para dewa agar mereka melindungi pemerintahan Sriwijaya dan menghukum mereka yang melakukan hal jahat.

5. Prasasti Karang Berahi: Ditemukan di Jambi pada tahun 608 Saka (686 Masehi) dan berisi informasi yang sama dengan yang ditemukan di prasasti Kota Kapur. Beberapa prasasti lainnya yaitu Prasasti Ligor bertanggal 775 Masehi. ditemukan dalam Prasasti Nalanda di India Timur dan Ligor di Semenanjung Melayu. Selain tulisan-tulisan tersebut, media Tiongkok juga memberi tahu kita banyak tentang sejarah Sriwijaya, seperti tentang penduduk I-tsing yang pernah tinggal di sana.



Perkembangan Kerajaan Sriwijaya


Faktor lain yang mendorong perkembangan Sriwijaya adalah sebagai berikut:

 a. Lokasi Geografis: Terletak di tepi Sungai Musi, Palembang adalah pusat pemerintahan dan dilindungi oleh pulau-pulau di depan muara Sungai Musi. Kegiatan pemerintahan dan pertahanan sangat cocok dalam situasi seperti ini. Selain itu, keadaan ini menjadikan Sriwijaya sebagai rute perdagangan global yang menghubungkan India dan Cina atau sebaliknya. Selain itu, kondisi sungai yang besar, perairan laut yang cukup tenang, dan penduduknya yang sangat pandai berlayar.

b. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat invasi Kamboja. Hal ini memberikan peluang bagi Sriwijaya untuk berkembang pesat sebagai negara maritim.



Perkembangan Politik dan Pemerintahan


 Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke 7 Masehi. Pada masa awal perkembangannya, gelar yang digunakan untuk menyebut raja adalah Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo, gelar Dapunta Hyang telah tercatat. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang aktif dalam melakukan upaya perluasan wilayah. Beberapa daerah yang berhasil dikuasainya antara lain sebagai berikut:

a. Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.

b. Daerah Kedah yang terletak di pesisir barat Semenanjung Melayu memiliki signifikansi yang besar dalam pengembangan perdagangan dengan India. Menurut I-tsing, penaklukan Kedah oleh Sriwijaya terjadi antara tahun 682-685 Masehi.

c. Pulau Bangka yang terletak di persimpangan jalur perdagangan internasional merupakan daerah yang sangat strategis. Pada tahun 686 Masehi, Sriwijaya berhasil menguasai daerah ini berdasarkan prasasti Kota Kapur. Selain itu, Sriwijaya juga berusaha untuk menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia kepada mereka. Bhumi Java yang dimaksud adalah Jawa, terutama bagian barat Jawa.

d. Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki posisi yang strategis, terutama dalam memfasilitasi kelancaran perdagangan di sepanjang pantai timur Sumatra. Penaklukan ini dilakukan sekitar tahun 686 Masehi (Prasasti Karang Berahi).

e. Tanah Genting Kra merupakan tanah genting yang terletak di bagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan Tanah Genting Kra sangat penting. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di tanah genting sangat dekat, Mereka kemudian membongkar barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar ke India.Penguasaan Sriwijaya terhadap Tanah Genting Kra dapat diketahui melalui Prasasti Ligor yang bertanggal tahun 775 Masehi.

f. Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno
   Menurut berita Cina dijelaskan bahwa terjadi serangan dari arah barat sehingga memaksa kerajaan Kalingga berpindah ke timur. Diduga yang melakukan serangan adalah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa Tengah karena pesisir utara Jawa Tengah juga merupakan jalur perdagangan penting. Sriwijaya terus memperluas wilayahnya sehingga Sriwijaya menjadi sebuah kerajaan besar. Pada tahun 775 Masehi, sebuah pangkalan dibangun di daerah Ligor untuk memperkuat pertahanan. Waktu itu yang menjadi raja adalah Darmasetra. Raja Kerajaan Sriwijaya yang terkenal adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 Masehi. 
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan.Balaputradewa merupakan keturunan dari Dinasti Syailendra, yaitu anak laki-laki dari Raja Samaratungga dan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Balaputradewa merupakan seorang raja yang berjasa di kerajaan Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan dekat dengan Kerajaan Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja memberikan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk digunakan sebagai tempat tinggal bagi siswa dan mahasiswa yang tinggal di Nalanda. Balaputradewa akan membayar akomodasi tersebut sebagai "dharma"
Fakta tersebut terdokumentasi dengan baik dalam prasasti Nalanda yang kini terletak di Universitas Nawa Nalanda, India. Asrama tersebut bahkan memiliki kesamaan dalam hal arsitektur dengan candi Muara Jambi yang terletak di Provinsi Jambi saat ini. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa Sriwijaya sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama Buddha dan bahasa Sanskerta, untuk generasi muda. Sudamaniwarmadewa adalah Raja Sriwijaya pada tahun 990 Masehi. 
Selama masa pemerintahan raja tersebut, terjadi serangan dari Raja Darmawangsa yang berasal dari Jawa bagian Timur. Namun, upaya serangan tersebut berhasil dicegah oleh pasukan Sriwijaya. Putranya, Marawijayottunggawarman, kemudian menggantikan Sri Sudamaniwarmadewa. Pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman, Sriwijaya menjalin hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala. Pada masa itu, Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya. Kepemimpinan setiap wilayah Sriwijaya dipercayakan kepada seorang rakryan (wakil seorang raja di wilayah tersebut). Dalam hal ini, Sriwijaya sudah mengetahui struktur kepengurusannya.



Perkembangan Ekonomi


Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Namun, karena Sriwijaya berada di tepi Sungai Musi yang berdekatan dengan pantai, perdagangan pun berkembang dengan cepat. Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan perdagangan diperkuat oleh posisi strategis dan kondisi geografis Sriwijaya. Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional. Sebelum menuju India, para pedagang Cina biasanya singgah terlebih dahulu di Sriwijaya, serta para pedagang dan India yang berencana pergi ke Cina. Di Sriwijaya para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan. 
Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan yang semakin maju. Sriwijaya mulai mendominasi perdagangan dalam negeri maupun luar negeri dikawasan perairan Asia Tenggara.Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah penguasaan Sriwijaya.
Sriwijaya yang menjadi pusat perdagangan, memberikan kekayaan bagi rakyat dan negara Sriwijaya. Kapal-kapal yang berlabuh dan melakukan proses bongkar muat, wajib membayar pajak. Dalam aktivitas perdagangan, Sriwijaya mengirimkan gading, kulit, dan beberapa spesies binatang liar ke luar negeri, sementara barang-barang yang diimpor meliputi beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
Perkembangan perdagangan tersebut telah memperkuat posisi Sriwijaya sebagai kerajaan yang dominan di bidang maritim. Kerajaan maritim merupakan kerajaan yang bergantung pada perekonomiannya dari aktivitas perdagangan dan sumber daya laut.Demi memperkuat posisinya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang tangguh. Dengan armada angkatan laut yang tangguh, Sriwijaya berhasil mengawasi perairan di Nusantara. Ini juga berfungsi sebagai jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di perairan Sriwijaya.
Kehidupan beragama di Sriwijaya sangat semarak. Sriwijaya bahkan menjadi pusat agama Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara. Menurut I-tsing, dikisahkan bahwa di Sriwijaya terdapat ribuan pendeta dan murid agama Buddha. Sakyakirti adalah salah satu pendeta Buddha yang terkenal.Banyak mahasiswa internasional yang datang ke Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Kemudian mereka mempelajari agama Buddha di Nalanda, India. Dalam rentang waktu antara tahun 1011 hingga 1023, seorang pendeta agama Buddha bernama Atisa datang dari Tibet dengan tujuan untuk memperdalam pengetahuan agama Buddha. 
Dalam hubungannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha, beberapa peninggalan ditemukan di Sriwijaya. Sebagai contoh, terdapat candi Muara Takus yang ditemukan di sekitar Sungai Kampar di wilayah Riau. Kemudian, di wilayah Bukit Siguntang, ditemukan patung Buddha. Pada tahun 1006, Sriwijaya juga mendirikan wihara sebagai tempat ibadah agama Buddha di Nagipattana, India Selatan. Pada masa itu, hubungan antara Sriwijaya dan India Selatan sangatlah dekat.

Salah satu bangunan yang memiliki kepentingan yang sangat besar adalah Biaro Bahal yang terletak di Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Di lokasi ini juga terdapat sebuah bangunan wihara.
Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran dikarenakan beberapa faktor, di antaranya:

a. Lingkungan di sekitar Sriwijaya telah mengalami perubahan, tidak lagi berdekatan dengan garis pantai. Ini terjadi karena aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering yang membawa banyak lumpur. Dampaknya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.

b. Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Ini terjadi terutama karena kelemahan angkatan laut Sriwijaya, yang membuat pengawasan menjadi semakin sulit.

c. Dalam hal politik, Sriwijaya telah beberapa kali diserang oleh kerajaan-kerajaan lain. Pada tahun 1017 Masehi, Sriwijaya mengalami serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala, tetapi Sriwijaya berhasil bertahan. Pada tahun yang sama, Sriwijaya berhasil melawan serangan tersebut dan tetap teguh. Tahun 1025 serangan tersebut diulang, sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman, ditahan oleh pemerintah Kerajaan Colamandala. Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melaksanakan Ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas. Pada tahun 1377, armada laut Majapahit melancarkan serangan terhadap Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.



Silsilah Kerajaan Sriwijaya


Silsilah Kerajaan Sriwijaya adalah rangkaian penguasa yang memerintah dalam kerajaan ini selama berabad-abad. Berikut ini adalah beberapa penguasa yang terkenal dalam silsilah Kerajaan Sriwijaya:

1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah pendiri dan raja pertama Kerajaan Sriwijaya. Ia memegang kekuasaan pada abad ke-7 Masehi dan merupakan tokoh penting dalam mendirikan kerajaan ini.

2. Bhre Wirabhumi
Bhre Wirabhumi merupakan raja Sriwijaya yang terkenal pada abad ke-8 Masehi. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan Sriwijaya.

3. Samaratungga
Samaratungga adalah seorang raja dari kerajaan Mataram Kuno yang juga memiliki ikatan dengan Kerajaan Sriwijaya. Ia menikahi putri Sriwijaya bernama Dewi Tara, dan melalui pernikahan tersebut, terjalin hubungan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya.

4. Balaputradewa
Balaputradewa adalah salah satu penguasa yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya. Ia memerintah pada abad ke-9 Masehi dan dianggap sebagai raja yang berpengaruh dalam mengembangkan kekuasaan Sriwijaya.

5. Dharmasetu
Dharmasetu adalah seorang raja yang dikenal dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya. Ia memerintah pada abad ke-10 Masehi dan tercatat sebagai raja yang berperan dalam memperluas wilayah kekuasaan Sriwijaya.

6. Balaputradewa II
Balaputradewa II adalah penguasa terakhir yang terkenal dalam silsilah Kerajaan Sriwijaya. Ia memerintah pada abad ke-11 Masehi dan dikenal sebagai raja yang memimpin Sriwijaya dalam masa kejayaannya sebelum mengalami keruntuhan.



Letak Kerajaan Sriwijaya

Letak pusat Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi.


Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


Berikut ini akan dijelaskan mengenai situs-situs sejarah peninggalan Kerajaan Sriwijaya, seperti candi,  prasasti, arca, dan situs arkeologi lainnya yang terdapat dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya:


Candi Muara Takus


Candi Muara Takus adalah sebuah kompleks candi Budha yang terletak di Kabupaten Kampar, provinsi Riau, Sumatera, Indonesia. Dipercaya milik kerajaan Sriwijaya dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 dan ke-12. Candi-candi yang masih ada dan peninggalan arkeologi lainnya menjadikannya salah satu kompleks candi kuno terbesar dan paling terpelihara di Sumatera. Situs ini menampilkan beberapa stupa dari batu bata dan batu, yang paling menonjol adalah Candi Mahugai dan Candi Tua berbentuk teratai setinggi 14 m, yang menyerupai UFO yang mendarat di sebuah platform. Kompleks ini dipugar pada tahun 1980 dan merupakan situs sejarah dan budaya penting yang memberikan wawasan tentang warisan kerajaan Sriwijaya dan arsitektur kuno Indonesia.


Candi Muaro Jambi


Candi Muara Jambi adalah sebuah kompleks candi Budha yang terletak di Kabupaten Muaro Jambi, provinsi Jambi, Sumatera, Indonesia. Kompleks candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke- 7 hingga ke- 13 Masehi dan merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Kompleks ini mencakup area seluas sekitar 12 kilometer persegi dan memiliki banyak candi, stupa, dan bangunan lainnya. Situs ini dianggap sebagai salah satu situs arkeologi terbesar dan terpenting di Asia Tenggara dan memberikan wawasan berharga tentang sejarah dan budaya kerajaan Sriwijaya. Candi terkenal lainnya dari masa Sriwijaya termasuk Candi Muara Takus, Candi Biaro Bahal, Candi Kota Kapur, dan Candi Palas Pasemah.


Candi Biaro Bahal


Candi Biaro Bahal, juga dikenal sebagai Candi Portibi, adalah sebuah kompleks candi Buddha Vajrayana yang terletak di desa Bahal, Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Indonesia. Ini adalah salah satu situs arkeologi penting di wilayah ini, dibangun menggunakan batu bata merah, dan merupakan bagian dari warisan budaya Kerajaan Sriwijaya. Kompleks ini terdiri dari beberapa candi, antara lain Bahal I, Bahal II, dan Bahal III, dengan struktur terbuat dari bata merah, sedangkan arca dibuat dari batu keras. Situs ini merupakan landmark sejarah dan budaya yang penting, memberikan wawasan tentang arsitektur Budha kuno dan warisan Kerajaan Sriwijaya.


Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota Kapur adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Indonesia. Ditemukan pada bulan Desember 1892 oleh JK van der Meulen dan ditulis dalam aksara Pallawa menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari tahun 608 Saka (686 M) ini merupakan salah satu dokumen tertulis tertua dalam bahasa Melayu. Dianggap sebagai bukti keberadaan dan kejayaan Kerajaan Sriwijaya, menggambarkan penguasaan kerajaan atas Sumatera bagian selatan, Bangka, Belitung, dan Lampung. Prasasti tersebut juga menyebutkan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Sri Jayanasa untuk menghukum Kerajaan Tarumanegara. Prasasti Kota Kapur saat ini disimpan di Rijksmuseum di Amsterdam, Belanda, pinjaman dari Museum Nasional Indonesia.


Prasasti Ligor

 
Prasasti Ligor adalah prasasti kuno yang ditemukan di Ligor (sekarang Nakhon Si Thammarat, Thailand selatan, Semenanjung Malaya), disimpan di Kuil Wat Sema Mueang. Dipahat pada dua sisi batu, bagian pertama (sisi depan) disebut Prasasti Ligor A atau naskah, dan bagian lain (sisi belakang) disebut Prasasti Ligor B, ditulis dengan aksara Kawi dan bertanggal tahun. 775 Masehi. Prasasti Ligor B diyakini dibuat oleh Maharaja Dyah Panca Pana Kariyana Panamkara, seorang raja dari Dinasti Sailendra. Prasasti tersebut memberikan informasi berharga tentang Kerajaan Sriwijaya dan Dinasti Sailendra, serta dianggap sebagai salah satu artefak sejarah penting yang berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya kuno.


Prasasti Palas Pasemah




Prasasti Palas Pasemah adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Sungai Way Pisang di Lampung, Indonesia. Prasasti tersebut ditulis dengan aksara Pallawa menggunakan bahasa Melayu Kuno dan terdiri dari 13 baris. Meski tidak memiliki tahun tertentu, namun bentuk aksaranya menunjukkan bahwa prasasti tersebut berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Prasasti tersebut berisi kutukan terhadap mereka yang tidak tunduk pada Kerajaan Sriwijaya. Penemuan batu tersebut dilakukan oleh warga sekitar pada tanggal 5 April 1956, dan kemudian dilaporkan ke pemerintah setempat. Prasasti tersebut dianggap sebagai salah satu artefak sejarah penting yang berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya kuno.


Prasasti Hujung Langit


Prasasti Hujung Langit adalah sebuah prasasti batu kuno zaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Desa Hakha Kuning, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Indonesia. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan menggunakan aksara Pallawa dan berangka tahun 919 Saka (997 M). Berisi informasi tentang pelepasan tanah dan hutan dari perpajakan, serta pemberian tanah sebagai hadiah. Prasasti tersebut juga menyebutkan keberadaan vihara (biara Budha) dan lapangan kerja penduduk setempat. Prasasti Hujung Langit memberikan wawasan sejarah yang berharga mengenai pemerintahan dan masyarakat kerajaan Sriwijaya.


Prasasti Telaga Batu


Prasasti Telaga Batu adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan di Telaga Batu, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan menggunakan aksara Pallawa dan diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi. Prasasti tersebut dipahat pada batu andesit dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Prasasti tersebut terdiri dari 28 baris dan dianggap sebagai salah satu prasasti Melayu tertua. Prasasti tersebut memberikan informasi berharga tentang pemerintahan dan masyarakat Kerajaan Sriwijaya, termasuk pendirian vihara bernama Vihara Buddhagupta dan pembangunan semburan air untuk ritual. Prasasti Telaga Batu saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.


Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti Kedukan Bukit adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920, di Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, Indonesia. Itu ditulis dalam bahasa Melayu Kuno menggunakan aksara Pallawa dan dianggap sebagai artefak tertua dalam bahasa Melayu. Prasasti tersebut menggambarkan lahirnya Kerajaan Sriwijaya dan keberhasilan perjalanan Dapunta Hyang, raja pertama Sriwijaya, memperoleh siddhayatra yang dapat diartikan sebagai "ramuan sakti" atau "perjalanan sukses". Prasasti tersebut juga menyebutkan pembangunan vihara sebagai wujud rasa syukur setelah perjalanan berhasil. Prasasti tersebut memberikan informasi berharga tentang kemajuan maritim Indonesia pada masa Hindu-Buddha. Prasasti Kedukan Bukit saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.

Prasasti Talang Tuwo


Prasasti Talang Tuwo adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan di desa Talang Tuwo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Indonesia. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan menggunakan aksara Pallawa dan terdiri dari 14 baris. Prasasti ini bertanggal tahun 606 Saka (23 Maret 684 M) dan dianggap sebagai salah satu prasasti Melayu tertua. Prasasti tersebut menggambarkan berdirinya sebuah taman bernama Sri Ksetra di bawah pimpinan Sri Jayanasa. Prasasti tersebut juga menyebutkan penanaman berbagai pohon, antara lain kelapa, sirih, dan sagu, serta pembangunan kolam. Prasasti Talang Tuwo memberikan wawasan sejarah yang berharga mengenai pemerintahan dan masyarakat kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Leiden


Prasasti Leiden adalah prasasti pelat tembaga kuno yang ditemukan di Leiden, Belanda, dan diyakini berasal dari tahun 1005 Masehi. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta dan memberikan informasi berharga tentang hubungan antara dinasti Sailendra di Sriwijaya dan dinasti Chola di India selatan. Prasasti tersebut juga menyebutkan berdirinya sebuah vihara bernama Vihara Buddhagupta yang dibangun oleh seorang raja bernama Maravijayottungavarman. Prasasti Leiden dianggap sebagai artefak sejarah penting yang berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya kuno dan memberikan wawasan tentang hubungan politik dan geografis pada masa itu.Prasasti Leiden adalah prasasti pelat tembaga kuno yang ditemukan di Leiden, Belanda, dan diyakini berasal dari tahun 1005 Masehi. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta dan memberikan informasi berharga tentang hubungan antara dinasti Sailendra di Sriwijaya dan dinasti Chola di India selatan. Prasasti tersebut juga menyebutkan berdirinya sebuah vihara bernama Vihara Buddhagupta yang dibangun oleh seorang raja bernama Maravijayottungavarman. Prasasti Leiden dianggap sebagai artefak sejarah penting yang berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya kuno dan memberikan wawasan tentang hubungan politik dan geografis pada masa itu.

Prasasti Amoghapasha


Prasasti Amoghapasha adalah sebuah prasasti kuno yang terdapat di bagian belakang arca Amoghapasha yang ditemukan di Padang Roco, Sumatra, Indonesia. Prasasti tersebut bertanggal 1208 Saka (1286 M) dan dipersembahkan oleh Raja Kertanegara dari Singhasari kepada Kerajaan Malayu Dharmasraya di Sumatera. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta, dan memberikan informasi berharga tentang hubungan antara Kerajaan Singhasari di Jawa dan Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatera. Prasasti tersebut juga menyebutkan berdirinya vihara bernama Vihara Buddhagupta dan pemberian patung Amoghapasha Lokeśvara kepada masyarakat Svarnabhumi (Sumatera). Prasasti Amoghapasha saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.


Prasasti Karang Birahi




Prasasti Karang Berahi adalah sebuah prasasti kuno yang ditemukan di Karang Berahi, Sumatera Selatan, Indonesia. Prasasti yang ditulis dengan aksara Pallawa ini diperkirakan dibuat sekitar akhir abad ke-7. Dipercaya berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya dan merupakan artefak sejarah penting yang memberikan wawasan tentang tulisan dan bahasa peradaban kuno. Prasasti tersebut tidak diberi tanggal tetapi diperkirakan dibuat sekitar tahun 680 Masehi. Isinya pesan tertulis, termasuk kutukan bagi mereka yang tidak taat. Penemuan prasasti ini penting karena memberikan kontribusi terhadap pemahaman warisan sejarah dan budaya wilayah tersebut.


Kesimpulan

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu peradaban yang pernah berjaya di Indonesia. Sebagai kerajaan maritim, Kerajaan Sriwijaya mampu menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Meskipun telah lama runtuh, jejak sejarah kejayaan dan kebangkitan peradaban maritim di Nusantara yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya masih dapat ditemukan hingga saat ini.



Q&A tentang Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Pertanyaan Umum tentang Sejarah Kerajaan Sriwijaya:

1. Apa yang membedakan Kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan lain pada masanya?
- Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang sangat kuat di kawasan Asia Tenggara.

2. Di mana letak Kerajaan Sriwijaya?
- Kerajaan Sriwijaya terletak di wilayah Sumatera Selatan.

3. Apa yang menjadi penyebab keruntuhan Kerajaan Sriwijaya?
- Penyebab keruntuhan Kerajaan Sriwijaya banyak diperdebatkan oleh sejarawan. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh serangan dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Singapura.

4. Apa saja peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang masih dapat ditemukan hingga saat ini?
- Beberapa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang masih dapat ditemukan diantaranya adalah Candi Muaro Jambi, Candi Kedaton, dan Bukit Siguntang.

5. Apa pesan yang dapat diambil dari sejarah Kerajaan Sriwijaya?
- Sejarah Kerajaan Sriwijaya mengajarkan tentang pentingnya mengembangkan potensi maritim dan membangun perdagangan yang kuat. Hal ini dapat dijadikan inspirasi dalam mengembangkan perekonomian Indonesia yang berbasis maritim.




Bergabunglah dalam perjalanan sejarah Nusantara dan temukan lebih banyak cerita menarik. Sertai komunitas kami di grup Telegram klik https://t.me/downloadmin untuk mendapatkan pembaruan eksklusif dan mendalam tentang sejarah dan budaya Nusantara. Jangan lewatkan momen ini untuk menjadi bagian dari warisan bangsa!

Posting Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Kejayaan dan Kebangkitan Peradaban Maritim di Nusantara"